Sabtu, 27 Agustus 2011

Mengintip Peluang Perempuan di Pemilu 2014

Penerapan sistem zipper sangat berdampak pada perolehan kursi perempuan.

Meskipun pemilihan umum (pemilu) 2014 masih tiga tahun lagi, namun suara-suara mengenai peluang keterwakilan perempuan sudah mulai muncul. Nada optimistis tetap mengemuka terhadap penambahan kursi bagi kalangan perempuan di ranah legislatif pada pemilu mendatang.

Sejak kebijakan afirmasi bagi perempuan melalui undang-undang politik yang mengatur keterwakilan perempuan di parlemen diundangkan pada 2003, jumlah perempuan di parlemen hasil pemilu 2004 dan 2009 terus meningkat. Bila pada Pemilu 1999 jumlah perempuan yang terpilih masuk DPR sebesar 9 persen, maka di Pemilu 2004 jumlahnya bertambah menjadi 11,8 persen. Begitu pula pada Pemilu 2009, keeterwakilan perempuan di DPR naik lagi menjadi 18 persen.

Jumlah keterwakilan perempuan di parlemen memang terus meningkat dari pemilu ke pemilu, walaupun masih jauh di bawah 30 persen seperti yang diharapkan. Ini artinya ada dampak yang positif dari diberlakukannya kebijakan afirmasi terhadap peningkatan jumlah representasi kaum perempuan di lembaga legislatif. Oleh karena itu menjadi "wajib hukumnya" untuk mempertahankan kebijakan tersebut dalam undang-undang tentang pemilu.

Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu masih berlangsung. Drafnya kini sudah berada di tangan Pemerintah setelah sebelumnya dibahas dan diajukan oleh DPR. "Prinsip pertama yang dianut DPR periode sekarang dalam menyusun RUU Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 2008 adalah tidak melakukan perubahan atas kebijakan afirmasi yang digagas oleh DPR periode sebelumnya," kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Ida Fuziah, dalam sarasehan mengenai peluang perempuan di Pemilu 2014, yang diselnggarakan oleh KPU pada 10 Agustus lalu.

Diakui oleh Ida, penerapan kebijakan afirmasi terhadap perempuan dalam politik dan pemilu mampu meningkatkan keterwakilan perempuan dari pemilu ke pemilu. "Peningkatan itu lebih signifikan saat zipper system diberlakukan pada sistem penetapan bakal calon anggota DPR dan DPRD oleh partai politik," kata politikus PKB ini. Sistem zipper adalah penempatan satu calon anggota legislatif perempuan di antara tiga bakal calon.

Pernyataan senada dikemukakan anggota DPR dari Partai Golkar, Nurul Arifin, yang juga menjadi pembicara dalam sarasehan itu. "Peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen menumbuhkan optimisme bagi terciptanya kesetaraan gender di bidang politik. Ini merupakan dampak positif dari aturan afirmasi dalam undang-undang politik," ujarnya.

Harus dipertahankan
Melihat fakta peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di DPR setelah keluarnya kebijakan afimasi dalam UU Pemilu Nomor 12/2003, dilanjutkan UU Nomor 10/2008, maka aturan tersebut harus tetap dipertahankan. Sebagaimana diungkapkan Ida, DPR tetap setuju dan mendukung atas kebijakan afirmasi yang telah ada dalam UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu. Kini bola ada di tangan pemerintah. Mereka seharusnya tidak mengutak-atik lagi pasal-pasal tentang kebijakan afirmasi.

Ada beberapa pasal yang perlu dipertahankan menyangkut kebijakan afirmasi dalam undang-undang yang mengatur pemilu. Pasal 53 UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu dengan tegas menyebutkan aturan bahwa daftar bakal calon anggota legislatif memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.

Penegasan Pasal 53 tersebut senapas dengan keinginan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen pada batas 30 persen. Tanpa anturan ini bukan tidak mungkin partai politik peserta pemilu akan sewenang-wenang dalam menentukan daftar bakal calon anggota legislatif dengan tidak mengindahkan keterwakilan perempuan. Itu artinya harapan akan kesetaraan gender di bidang politik akan semakin menjauh.

Aturan lain yang juga wajib dipertahankan adalah Pasal 55 ayat 2 yang menyatakan di dalam daftar bakal calon, setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. "Ketentuan lebih maju lagi dalam kebijakan afirmasi adalah adanya penerapan sistem zipper ini," kata Ida.

Penerapan sistem zipper ini sangat berdampak terhadap perolehan kursi perempuan di legislatif. Sebab, dengan diterapkannya sistem ini maka kesempatan perempuan untuk duduk di nomor urut atas, 1-3 ataupun 4-6, terbuka lebar. Harapannya, dengan berada di urutan atas maka kesempatan perempuan dipilih oleh pemilih semakin besar.

"Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa nomor urut sangat menentukan dalam jumlah perolehan suara para calon. Nomor urut atas lebih banyak dipilih oleh para pemilih dan mereka mendapat kursi di legisltaif," kata Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI, Sri Budi Eko Wardani, yang juga hadir sebagai pembicara dalam sarasehan hari itu.

Penelitian Puskapol pada Desember 2010 menunjukkan 44 persen anggota DPR dari kalangan perempuan (103 anggota) berada di nomor urut 1 dalam daftar calon. Selanjutnya 29 persen dengan nomor urut 2, dan 20 persen dengan nomor urut 3. Angka-angka yang nyaris sama juga terjadi dalam keterpilihan perempuan di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

"Nomor urut ternyata tetap memiliki peran penting dalam menentukan keterpilihan calon," ujar Nurul. "Perubahan formula calon terpilih berdasarkan suara terbanyak ternyata tidak banyak mengubah cara berpikir pemilih dalam menentukan pilihannya berdasarkan nomor urut kecil," tambahnya. Dia pun sepakat dengan pemberlakuan sistem zipper ini.

Tentang perlunya nomor urut kecil bagi perempuan untuk meningkatkan keterwakilannya di parlemen, terkait dengan banyaknya jumlah calon anggota legislatif. Sesuai dengan UU Nomor 10/2008 tadi, setiap peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota legislatif sebanyak 120 persen dari jumlah kursi yang tersedia.

Banyaknya jumlah calon ini akan berdampak pada besranya ukuran suara yang pada akhirnya menyulitkan pemilih melihat semua calon di suart suara. Akibatnya, mereka mengambil gampangnya saja yakni memilih calon yang berada di urutan nomor kecil (bagian atas).

Aturan lain yang tak kalah pentingnya untuk tetap ada adalah Pasal 8 yang berisi tentang persyaratan bagi partai politik yang ingin menjadi peserta pemilu. Salah satu syaratnya adalah menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan di tingkat pusat.

Harapnnya, dengan adanya wakil perempuan di pengurus pusat, dapat memperjuangkan nomor urut kecil dalam daftar bakal calon anggota legislatif. Bagaimanapun pengurus pusat masih berperan besar dan penting dalam penetapan nomor urut bagi para calon anggota legislatifnya. Idealnya memang 30 persen keterwakilan perempuan di pengurus harian partai politik sehingga perjuangan untuk menempatkan perempuan di nomor kecil semakin terbuka.

Menurut Ida, penekanan lebih lanjut agar partai politik melaksanakan kebijakan afirmasi adalah dengan mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon dari masing-masing partai kepada publik.  Sesuai dengan Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik pada media massa nasional.

Afirmasi internal partai

Segala kebijakan afirmasi yang tercantum dalam UU tentang Pemilu barulah sekadar "tiket" masuk bagi kalangan perempuan untuk masuk ke parlemen. Hal tersebut tidak otomatis membuat perempuan yang menjadi calon anggota legislatif mendapat kursi. Ini karena memang tidak ada sanksi tegas bagi partai politik yang tidak melaksanakan kebijakan afirmasi tersebut.

Semestinya memang ada sanksi tegas bagi partai yang tidak menjalankan kebijakan afirmasi. Dengan adanya sanksi maka seluruh kebijakan afirmasi dapat berjalan dengan baik dari hulu hingga hilir. Harapannya tentu saja tercapainya keterwakilan perempuan yang lebih signifikan dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.

Harapan itu ada di tangan internal partai masing-masing. Merekalah yang seharusnya memiliki kepekaan dan komitmen untuk menjalankan kebijakan afirmasi. Misalnya, dengan konsisten memberi kesempatan kepada perempuan di nomor urut kecil dengan sistem zipper. Juga dengan berani menempatkan 30 persen perempuan dalam kepengurusan harian partai.
Afirmasi internal partai sudah menjadi tuntutan untuk memperjuangkan kesetaraan gender di parlemen. Sebab, partai politik masih menjadi satu-satunya pintu untuk masuk menjadi anggota legislatif. -akhir tulisan-

Tabel 1:

Peningkatan Keterwakilan Perempuan di DPR

Pemilu 1999: 9,0 persen -Tanpa affirmative action
Pemilu 2004: 11,8 persen - Dengan affirmative action kuota 30 persen perempuan
Pemilu 2009: 18,0 persen  -- Dengan affirmative action kuota 30 persen dan zipper system 1 di antara 3 bakal calon
Sumber: Ida Fauziah, makalah.

Tabel 2:

Representasi Perempuan di DPR & DPRD Hasil Pemilu 2009

DPR
Perempuan 18 persen
Laki-laki: 82

DPRD Provinsi
Perempuan: 16
Laki-laki: 84

DPRD Kab/Kota
Perempuan: 12
Laki-laki: 88
Sumber: Puskapol UI

Tabel 3:
Persentase Perolehan Kursi Perempuan Berdasarkan Nomor Urut

Nomor Urut 1
DPR: 44 persen
DPRD Provinsi: 41
DPRD Kab/Kota: 41

Nomor Urut 2:
DPR: 29 persen
DPRD Provinsi: 20
DPRD Kab/Kota: 23

Nomor Urut 3:
DPR: 20 persen
DPRD Provinsi: 24
DPRD Kab/Kota: 18


Sumber: Puskapol UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar