Selasa, 29 Maret 2011

Saatnya Sarjana Alergi Jadi Pegawai...


Kewirausahaan perlu dijadikan pendidikan alternatif dalam menciptakan wirausahawan muda guna menekan angka pengangguran di Indonesia. Pendidikan kewirausahaan memberikan makna, bahwa seorang sarjana tidak perlu tergantung dengan bekerja di perusahaan. 

Pendidikan kewirausahaan akan menanamkan makna kepada para sarjana bahwa kita jangan bergantung pada pekerjaan sebagai pegawai.
-- Sunarji

Demikian disampaikan Wakil Rektor (Warek III) Bidang Penelitian, Pengembangan, dan Kerjasama Industri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Sunarji, saat menghadiri kuliah umum tentang peningkatan kapasitas kewirausahaan di perguruan tinggi, Jumat (25/3/2011), di Universitas Indonesia, Depok.
"Pendidikan kewirausahaan akan menanamkan makna kepada para sarjana, calon-calon wirausahawan, bahwa kita jangan bergantung pada pekerjaan sebagai pegawai," kata Sunarji.

Pada tingkat perguruan tinggi, lanjut dia, kurikulum tentang pendidikan kewirausahaan sebenarnya sudah ada. Pendidikan ini salah satunya diberikan melalui mata kuliah kewirausahaan.

"Kurikulumnya ada pada mata kuliah kewirausahaan dan itu sudah cukup mendukung," kata Sunarji.
Dia mengungkapkan, ada beberapa kendala dalam menyampaikan pendidikan kewirausahaan ini, yaitu perlu adanya suatu hubungan yang baik antara para praktisi wirausaha dengan para calon wirausaha. Untuk itu, institusi pendidikan harus bisa mendatangkan dosen tamu yang berasal dari praktisi berpengalaman di dunia kewirausahaan.

Hal itu akan sangat membantu perguruan tinggi menerapkan ilmu kewirausahaan. Karena, kata Sunarji, selain untuk pendalaman teori, kehadiran para praktisi juga sebagai mediator berbagi pengalaman praktik berwirausaha.

"Kita perlu mendatangkan praktisi-praktisi yang sukses agar mahasiswa termotivasi dan terjadi proses pertukaran pengalaman," katanya. 

Sumber : kompas.com

Jumat, 25 Maret 2011

7 Tips Mempertahankan Konsumen


Ada 2 hal yang tidak dapat dipisahkan dalam aktivitas usaha, yaitu penjual dan pembeli yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Apapun jenis usaha yang kita jalankan baik bidang jasa maupun perdagangan tidak terlepas dari dua unsur tadi.

Ada pepatah mengatakan bahwa konsumen adalah raja. Pepatah itu menurut saya masih relevan dengan kondisi sekarang atau bahkan bersifat universal. Penjual tidak akan bisa menjual kalau tidak ada konsumen, begitupun sebaliknya konsumen tidak akan dapat memenuhi segala keperluannya kalau tidak ada penjual.
Menurut saya upaya mempertahankan konsumen jauh lebih sulit daripada mendapatkan konsumen baru.

Setiap kegiatan usaha setiap orang akan berlomba-lomba mempertahankan konsumen dengan berbagai cara agar si konsumen tidak pindah menjadi pelanggan lain. Perlakukan konsumen sebagai raja lebih banyak dirasakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Mari kita tengok bagaimana suatu bank, antara bank yang satu dengan bank yang lainnya berlomba-lomba memberikan pelayanan kepada nasabahnya dengan sebaik-baiknya. Mulai dengan dibukakan pintu masuk, ucapan selamat pagi pa.. bu, wajah petugas yang ramah penuh senyum sampai dengan hal-hal penawaran bantuan-bantuan lainnya. Kemudian kita tengok juga bagaimana perusahaan dealer mobil memberikan pelayanan, mulai dengan dibukakan pintu masuk dengan wajah yang ramah dari customer servis, diberikan berbagai penjelasan mengenai suatu produk yang ia jual, memberikan ucapan selamat sampai dengan diantarkannya kembali ke pintu keluar disaat si konsumen pulang. Trik-trik semacam itu mereka berupaya bagaimana merebut hati para customer untuk bisa menjadi mitra. Kalau mau bertahan hidup, itulah memang tuntutannya.

Bagi anda yang mempunyai kegiatan usaha yang sama seperti saya atau apapun usaha yang tengah anda jalankan, ada cara sederhana bagaimana mempertahankan kosumen agar selalu memberi uang kepada kita.

Inilah tips untuk anda :

1. Sapalah konsumen dengan baik. Maksudnya adalah, ketika konsumen
dateng ke tempat kita, sambutlah dengan senyum, sedapat mungkin
ucapkan selamet pagi atau siang pa..bu. Point pertama sudah kita
dapatkan berupa kesan “ramah”.

2. Tanyakan apa keperluannya. Kita harus pro aktif menanyakan terlebih
dahulu apa keperluan konsumen dengan ucapan “ada yang perlu saya
bantu?”.

3. Berikan kualitas terbaik. Setiap produk yang kita berikan harus yang terbaik.
Jangan sekali-kali kita memberikan kepada konsumen asal asalan. Hal ini
akan menciptakan kesan buruk bagi pelanggan terhadap produk yang kita
jual.

4. Berikan harga yang wajar. Pada tingkat persaingan yang ketat harga suatu
produk atau layanan sangat menentukan. Untuk membeli sesuatu
konsumen biasanya memilih-milih tempat mana yang lebih murah. Berikan
mereka dengan harga yang wajar tapi tetap dibarengi kualitas yang baik,
basanya konsumen akan balik lagi ke tempat kita.

5. Tepati Janji. Upayakan setiap janji yang kita berikan kepada konsumen
untuk selalu ditepati. Jangan sekali-kali kita memberikan janji kepada
konsumen kalau memang kita tidak bisa memenuhinya. Hindari jangan
sampai konsumen bolak balik ke tempat kita hanya karena janji yang tidak
bisa kita tepati, waktu dan uang sudah mereka buang gara-gara janji kita
yang tidak tepat. Konsumen akan kecewa dan pindah ke tempat lain. Ujung-
ujungnya yang rugi kita sendiri, kehilangan konsumen.

6. Ciptakan kekeluargaan. Pada saat kita tengah memberikan pelayanan,
jangan cenderung terfokus pada hasil penjualan akhir saja. Maksud saya,
pada saat proses pemberian pelayanan berlangsung kita jangan bersikap
monoton. Libatkan mereka dalam suatu obrolan yang ringan-ringan,
misalnya menanyakan tempat tinggal atau bisa juga menanyakan tentang
keluarga mereka. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan.

7. Ciptakan ikatan psikologis. Hal ini dapat dilakukan apabila kita sudah bisa
menciptakan ikatan kekeluargaan dengan konsumen. Untuk menciptakan
ikatan bathin saya lakukan dengan cara memberikan ucapan pada
momen-monen tertentu, misalnya ucapan selamat ulang tahun, selamat
hari raya dan sebagainya. Cukup dengan cara kirim sms. Kiat ini cukup
ampuh karena konsumen merasa diperhatikan. Nah kalau ikatan bathin
sudah terbentuk sulit bagi konsumen untuk pindah ke tempat lain.

Tujuh tips itulah yang dilakukan demi mempertahankan pelanggan. Sangat sederhana sekali tapi memang hasilnya cukup baik bagi usaha yang kecil ini bisa bertahan sampai dengan sekarang sekalipun diterpa krisis ekonomi. Nah bagaimana dengan anda? Mari kita berbagi pengalaman.

Semoga bermanfaat.
http://warunginfobisnis.blogspot.com

Selasa, 22 Maret 2011

Hukum Perdagangan Islam

PENGERTIAN Jual beli (bai') menurut bahasa menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedang menurut terminologi syari'at Islam adalah mempertukarkan harta dengan harta yang lain dengan cara tertentu (diizinkan syara').[1]

Islam menghalalkan perdagangan sebagai salah satu ikhtiar mencari karunia dari Allah. Allah berfirman (artinya) : dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS Al-Baqarah : 275). Sebagai suatu akad (transaksi), jual beli mempunyai aturan main yang harus dita'ati oleh pihak-pihak yang terlibat dalam jual beli, agar masing-masing pihak saling setuju dan puas, sehingga pihak pembeli bisa mencapai kehalalan barang yang dibelinya dan pihak penjual bisa mencapai kehalalan uang yang diterimanya. Firman Allah (artinya) : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu (QS Al-Nisa' : 29). Yang dimaksud aturan main itu adalah meliputi syarat dan rukun, dimana rukun merupakan komponen pokok (subtansial) dari sebuah transaksi jual beli, sedangkan syarat sebagai elemen penentu dan pengikat layak atau tidaknya sesuatu menjadi komponen pokok dari transaksi jual beli.

Rukun dan syarat :
daripada jual beli menurut imam mazhab

a. Madzhab Syafi'i : [2]

1) Aqid (pejual dan pembeli). Syaratnya harus ithlaq al-tasharruf (memiliki kebebasan pembelanjaan), tidak ada paksaan yang tidak dibenarkan, muslim jika barang yang dijual semisal mushhaf, bukan musuh jika yang dijual berupa alat perang.

2) Ma'qud 'alaih (barang yang dijual dan alat beli). Syaratnya harus suci, bermanfaat menurut kreteria syari'at, dapat diserah-terimakan, dalam kekuasaan pelaku akad dan teridentifikasi oleh pelaku akad.

3) Shighat (Ijab dan Qabul). Syaratnya tidak disela oleh pembicaraan lain, tidak disela oleh terdiam yang lama, ada persesuaian antara pernyataan ijab dan qabul, tidak digantungkan kepada sesuatu yang lain dan tidak ada batasan masa.

Dalam kalangan madzhab Syafi'i jual beli dengan cara mu'athah (tanpa pernyataan ijab qabul) tidak sah, namun menurut sebagian ulama' Syafi'iyyah adalah sah untuk barang-barang dimana dengan tanpa ijab qabul sudah dianggap sebagai jual beli atau pada barang-barang yang harganya kecil.

b. Madzhab Hanafi : [3]

1) Ijab

2) Qabil

Menurut madzhab Hanafi bahwa jual-beli bisa terjadi (in'iqad) hanya dengan ijab-qabul. Jadi in'iqad adalah keterikatan pembicaraan salah satu dari dua pihak yang berakad dengan lainnya menurut syari'at atas suatu cara/prosedur yang tampak hasilnya pada sasaran jual-beli. Dengan demikian jual-beli (bai') menurut madzhab ini merupakan atsar syari' (bekas/hasil nyata secara syari'at) yang tampak pada sasaran (jual-beli) ketika terjadi ijab qabul, sehingga pihak yang berakad memiliki kekuasaan melakukan tasharruf. Guna mencapai atsar yang nyata melalui ketersambungan ijab qabul, maka pihak pelaku ijab qabul (aqid) disyaratkan harus sempurna akalnya dan mencapai usia tamyiz, dan pada sasaran ijab qabul harus merupakan harta yang dapat diserah terimakan. Tentang jual beli cara mu'athah madzhab Hanafi memperbolehkan secara mutlak baik pada barang-barang yang berharga besar atau kecil, kecuali menurut pendapat al-Karkhi yang hanya membolehkan pada barang-barang yang kecil.

c. Madzhab Maliki : [4]

1) Shighat. Shighat diharuskan merupakan sesuatu yang dapat menunjukkan ridha (saling setuju) dari pihak aqid, baik berupa perkataan atau isyarat bagi orang tuna wicara dan tulisan. Madzhab Maliki memperbolehkan jual-beli dengan cara mu'athah.

2) Aqid yaitu meliputi penjual dan pembeli. Syaratnya harus tamyis yaitu sekira sudah dapat memahami pertanyaan dan mampu menjawabnya. Dalam madzhab ini aqid tidak disyaratkan muslim sekalipun barang yang jual semisal mushaf.

3) Ma'qud 'alaih yaitu meliputi alat beli dan barang yang dibeli. Syaratnya harus suci, dapat diserah-terimakan, teridentifikasi, tidak terlarang penjualannya dan dapat diambil manfaatnya.

d. Madzhab Hambali : [5]

1) Aqid. Syaratnya memilki kepatutan melakukan tasharruf, yaitu harus sempurna akalnya, baligh, mendapat izin, kehendak sendiri dan tidak sedang tercegah tasharrufnya.

2) Ma'qud 'alaih. Syaratnya memiliki manfaat menurut syari'at, boleh dijual oleh pihak aqid, dimaklumi bagi kedua pihak yang melakukan akad dan bisa diserah terimakan, dan disamping semua itu harus tidak bersamaan dengan sesuatu yang menghalanginya yaitu larangan syara'.

3) Ma'qud bih (shighat). Syaratnya harus berupa perkataan yang dapat menunjukkan persetujuan dan suka sama-suka antara dua belah pihak. Tentang mu'athah dalam madzhab Hambali terdapat tiga pendapat, yaitu tidak membolehkan, membolehkan dan ada yang membolehkan tetapi hanya pada barang-barang yang harganya kecil (remeh).

Dari uraian diatas bahwa rukun jual beli menurut madzhab empat kecuali madzhab Hanafi adalah sama, yaitu aqid (penjual dan pembeli), ma'qud 'alaih (alat beli dan barang yang dijual) dan shighat/ma'qud bih (ijab dan qabul). Sementara dalam madzhab Hanafi rukunnya hanya satu yaitu shighat (ijab dan qabul). Sebab menurut madzhab ini rukun "ijab qabul" dapat difungsikan sehingga dapat mencapai pada atsar syar'i memerlukan pihak yang melakukan ijab qabul yaitu aqid dan sasaran ijab qabul yaitu alat beli dan barang yang dibeli. Dengan demikian madzhab ini pada dasarnya sama dengan madzhab lain. Adapun mu'athah (ketiadaan pengucapan ijab qabul) ulama' dari semua madzhab empat membolehkannya, hanya saja keberlakuan sasaran hukum boleh terjadi perbedaan pendapat.

Legal formal terbangunnya jual beli ditentukan oleh syarat dan rukunnya. Namun perlu diketahui bahwa dalam prakteknya disamping harus berpijak pada asasnya yaitu Islam, harus tidak mengabaikan karakteristiknya. Sebab jika bagian ini diabaikan, maka bisa menimbulkan hukum terlarang (haram) dan bahkan sampai dapat merusak validitas akad jual beli itu sendiri.

Adapun dalam praktek jual beli terlarang itu terbagi menjadi dua : [6]

· Terlarang (haram) tetapi jual belinya sah. Hal ini jika aktivitasnya dapat menimbulkan dampak negatif, sementara rukun dan syarat jual beli terpenuhi, seperti membeli barang yang masih dalam tawaran orang lain sesudah ada kesepakatan harga; menjualkan barang kebutuhan pokok secara bertahab dengan harga lebih mahal, padahal pemilik barang ingin menjualnya secara kontan; membeli barang dari orang yang belum mengetahui informasi harga pasar; menambah harga penawaran dengan tujuan membujuk; jual beli disaat seruan adzan Jum'ah dan lain sebagainya.

· Terlarang (haram) dan jual belinya tidak sah (fasid). Hal ini jika sebagian syarat atau rukun jual beli tidak dipenuhi, seperti menjjual janin dalam kandungan, jual beli dengan mempesyaratkan hutang, jual beli barang najis, jual beli barang yang membahayakan dan lain sebagainya.

Referensi:
[1] Fath al-Wahhab, juz 1 hal 186 ; Kifayah al-Akhyar, juz 1 hal 326
[2] Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, Dar al-Fikr juz 1 hal 186
[3] Al-Hidayah, juz VI hal 229-230 ; Al-Jauharah al-Nayyiyah, juz II hal 196-197 ; Durar al-Hukkam Syarh Ghurar al-Ahkam juz VI hal 151-152
[4] Al-Fawakih, juz 2 hal 115-116 ; Syarh Mukhtashar Khalil, juz 14 hal 200-201; Al-Taj wa al-Iklil li Mukhtashar Khalil, juz 6 hal 331
[5] Badruddun al-Zarkasyi, Syarh al-Zarkasyi juz III hal 378
[6] Al-Manhaj al-Thullab, juz 1 hal 193-197