Selasa, 22 Maret 2011

Hukum Perdagangan Islam

PENGERTIAN Jual beli (bai') menurut bahasa menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedang menurut terminologi syari'at Islam adalah mempertukarkan harta dengan harta yang lain dengan cara tertentu (diizinkan syara').[1]

Islam menghalalkan perdagangan sebagai salah satu ikhtiar mencari karunia dari Allah. Allah berfirman (artinya) : dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS Al-Baqarah : 275). Sebagai suatu akad (transaksi), jual beli mempunyai aturan main yang harus dita'ati oleh pihak-pihak yang terlibat dalam jual beli, agar masing-masing pihak saling setuju dan puas, sehingga pihak pembeli bisa mencapai kehalalan barang yang dibelinya dan pihak penjual bisa mencapai kehalalan uang yang diterimanya. Firman Allah (artinya) : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu (QS Al-Nisa' : 29). Yang dimaksud aturan main itu adalah meliputi syarat dan rukun, dimana rukun merupakan komponen pokok (subtansial) dari sebuah transaksi jual beli, sedangkan syarat sebagai elemen penentu dan pengikat layak atau tidaknya sesuatu menjadi komponen pokok dari transaksi jual beli.

Rukun dan syarat :
daripada jual beli menurut imam mazhab

a. Madzhab Syafi'i : [2]

1) Aqid (pejual dan pembeli). Syaratnya harus ithlaq al-tasharruf (memiliki kebebasan pembelanjaan), tidak ada paksaan yang tidak dibenarkan, muslim jika barang yang dijual semisal mushhaf, bukan musuh jika yang dijual berupa alat perang.

2) Ma'qud 'alaih (barang yang dijual dan alat beli). Syaratnya harus suci, bermanfaat menurut kreteria syari'at, dapat diserah-terimakan, dalam kekuasaan pelaku akad dan teridentifikasi oleh pelaku akad.

3) Shighat (Ijab dan Qabul). Syaratnya tidak disela oleh pembicaraan lain, tidak disela oleh terdiam yang lama, ada persesuaian antara pernyataan ijab dan qabul, tidak digantungkan kepada sesuatu yang lain dan tidak ada batasan masa.

Dalam kalangan madzhab Syafi'i jual beli dengan cara mu'athah (tanpa pernyataan ijab qabul) tidak sah, namun menurut sebagian ulama' Syafi'iyyah adalah sah untuk barang-barang dimana dengan tanpa ijab qabul sudah dianggap sebagai jual beli atau pada barang-barang yang harganya kecil.

b. Madzhab Hanafi : [3]

1) Ijab

2) Qabil

Menurut madzhab Hanafi bahwa jual-beli bisa terjadi (in'iqad) hanya dengan ijab-qabul. Jadi in'iqad adalah keterikatan pembicaraan salah satu dari dua pihak yang berakad dengan lainnya menurut syari'at atas suatu cara/prosedur yang tampak hasilnya pada sasaran jual-beli. Dengan demikian jual-beli (bai') menurut madzhab ini merupakan atsar syari' (bekas/hasil nyata secara syari'at) yang tampak pada sasaran (jual-beli) ketika terjadi ijab qabul, sehingga pihak yang berakad memiliki kekuasaan melakukan tasharruf. Guna mencapai atsar yang nyata melalui ketersambungan ijab qabul, maka pihak pelaku ijab qabul (aqid) disyaratkan harus sempurna akalnya dan mencapai usia tamyiz, dan pada sasaran ijab qabul harus merupakan harta yang dapat diserah terimakan. Tentang jual beli cara mu'athah madzhab Hanafi memperbolehkan secara mutlak baik pada barang-barang yang berharga besar atau kecil, kecuali menurut pendapat al-Karkhi yang hanya membolehkan pada barang-barang yang kecil.

c. Madzhab Maliki : [4]

1) Shighat. Shighat diharuskan merupakan sesuatu yang dapat menunjukkan ridha (saling setuju) dari pihak aqid, baik berupa perkataan atau isyarat bagi orang tuna wicara dan tulisan. Madzhab Maliki memperbolehkan jual-beli dengan cara mu'athah.

2) Aqid yaitu meliputi penjual dan pembeli. Syaratnya harus tamyis yaitu sekira sudah dapat memahami pertanyaan dan mampu menjawabnya. Dalam madzhab ini aqid tidak disyaratkan muslim sekalipun barang yang jual semisal mushaf.

3) Ma'qud 'alaih yaitu meliputi alat beli dan barang yang dibeli. Syaratnya harus suci, dapat diserah-terimakan, teridentifikasi, tidak terlarang penjualannya dan dapat diambil manfaatnya.

d. Madzhab Hambali : [5]

1) Aqid. Syaratnya memilki kepatutan melakukan tasharruf, yaitu harus sempurna akalnya, baligh, mendapat izin, kehendak sendiri dan tidak sedang tercegah tasharrufnya.

2) Ma'qud 'alaih. Syaratnya memiliki manfaat menurut syari'at, boleh dijual oleh pihak aqid, dimaklumi bagi kedua pihak yang melakukan akad dan bisa diserah terimakan, dan disamping semua itu harus tidak bersamaan dengan sesuatu yang menghalanginya yaitu larangan syara'.

3) Ma'qud bih (shighat). Syaratnya harus berupa perkataan yang dapat menunjukkan persetujuan dan suka sama-suka antara dua belah pihak. Tentang mu'athah dalam madzhab Hambali terdapat tiga pendapat, yaitu tidak membolehkan, membolehkan dan ada yang membolehkan tetapi hanya pada barang-barang yang harganya kecil (remeh).

Dari uraian diatas bahwa rukun jual beli menurut madzhab empat kecuali madzhab Hanafi adalah sama, yaitu aqid (penjual dan pembeli), ma'qud 'alaih (alat beli dan barang yang dijual) dan shighat/ma'qud bih (ijab dan qabul). Sementara dalam madzhab Hanafi rukunnya hanya satu yaitu shighat (ijab dan qabul). Sebab menurut madzhab ini rukun "ijab qabul" dapat difungsikan sehingga dapat mencapai pada atsar syar'i memerlukan pihak yang melakukan ijab qabul yaitu aqid dan sasaran ijab qabul yaitu alat beli dan barang yang dibeli. Dengan demikian madzhab ini pada dasarnya sama dengan madzhab lain. Adapun mu'athah (ketiadaan pengucapan ijab qabul) ulama' dari semua madzhab empat membolehkannya, hanya saja keberlakuan sasaran hukum boleh terjadi perbedaan pendapat.

Legal formal terbangunnya jual beli ditentukan oleh syarat dan rukunnya. Namun perlu diketahui bahwa dalam prakteknya disamping harus berpijak pada asasnya yaitu Islam, harus tidak mengabaikan karakteristiknya. Sebab jika bagian ini diabaikan, maka bisa menimbulkan hukum terlarang (haram) dan bahkan sampai dapat merusak validitas akad jual beli itu sendiri.

Adapun dalam praktek jual beli terlarang itu terbagi menjadi dua : [6]

· Terlarang (haram) tetapi jual belinya sah. Hal ini jika aktivitasnya dapat menimbulkan dampak negatif, sementara rukun dan syarat jual beli terpenuhi, seperti membeli barang yang masih dalam tawaran orang lain sesudah ada kesepakatan harga; menjualkan barang kebutuhan pokok secara bertahab dengan harga lebih mahal, padahal pemilik barang ingin menjualnya secara kontan; membeli barang dari orang yang belum mengetahui informasi harga pasar; menambah harga penawaran dengan tujuan membujuk; jual beli disaat seruan adzan Jum'ah dan lain sebagainya.

· Terlarang (haram) dan jual belinya tidak sah (fasid). Hal ini jika sebagian syarat atau rukun jual beli tidak dipenuhi, seperti menjjual janin dalam kandungan, jual beli dengan mempesyaratkan hutang, jual beli barang najis, jual beli barang yang membahayakan dan lain sebagainya.

Referensi:
[1] Fath al-Wahhab, juz 1 hal 186 ; Kifayah al-Akhyar, juz 1 hal 326
[2] Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, Dar al-Fikr juz 1 hal 186
[3] Al-Hidayah, juz VI hal 229-230 ; Al-Jauharah al-Nayyiyah, juz II hal 196-197 ; Durar al-Hukkam Syarh Ghurar al-Ahkam juz VI hal 151-152
[4] Al-Fawakih, juz 2 hal 115-116 ; Syarh Mukhtashar Khalil, juz 14 hal 200-201; Al-Taj wa al-Iklil li Mukhtashar Khalil, juz 6 hal 331
[5] Badruddun al-Zarkasyi, Syarh al-Zarkasyi juz III hal 378
[6] Al-Manhaj al-Thullab, juz 1 hal 193-197

Tidak ada komentar:

Posting Komentar