Kamis, 28 Februari 2013

Memaknai Kebhinekaan dari Sri Sultan Hamengkubuwono X : Bukan Indonesia Jika Tanpa Bhineka Tunggal Ika


Malam itu, lebih tepatnya pada tanggal 21 Pebruaru 2013, peserta SPK CRCS UGM mendapat kehormatan untuk makan malam dan berdiskusi dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X di Keraton Jogjakarta. Semua peserta berbahagia, kapan lagi bisa berdiskusi dengan salah satu pemimpin wilayah di Indonesia yang dikenal karena dapat me manage penduduk wilayahnya yang berasal dari berbagai penjuru tanah air.

Sri Sultan adalah orang yang sangat ramah. Ketika kami disambut di pendopo, beliau menyalami kami satu per satu. Ini adalah bentuk keramahan Indonesia, dimana setiap tamu yang datang, harus disambut dan dimuliakan. Acara dimulai dengan perkenalan mengenai apa itu Sekolah Pluralisme Kewargaan yang diadakan oleh CRCS UGM. Tidak lama kemudian, Kanjeng Ratu Hemas bergabung bersama kami. Sebelum berdiskusi lebih jauh, kami dipersilakan makan malam. Dan saya rasa, malam itu kami menikmati menu yang special. Makan malam dengan menu khas Jogjakarta. Nasi liwet, gudeg manggar, wedang sereh dan beberapa makanan penutup membuat kami semakin bersemangat.      

Setelah makan malam, diskusi santai pun dimulai. Ada beberapa pertanyaan yang terlontar dari peserta. Dari sekian banyak pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang dapat dipelajari dan dimaknai bersama.

Ketika berbicara mengenai pengelolaan keragaman, di Jogjakarta terjadi akulturasi budaya yang unik. Semua komunitas dapat hidup dan berdampingan dengan rukun di sini. Dari golongan apapun ada di Jogjakarta. Dari yang golongan keras, aliran penghayat, Ahmadiyah, lesbian, gay, biseksual, transgender dan lain sebagainya.

Memang ada pihak-pihak yang bermaksud mengubah tatanan kerukunan hidup di Jogjakarta. Belajar dari pengalaman tentang adanya pembangunan asrama-asrama berbasis daerah dan wilayah di Jogjakarta, justru akan menghambat seseorang untuk mengenal orang lain yang berbeda daerah, suku dan wilayah. Jika ingin menghargai keberagaman, haruslah siap menerima perbedaan dan siap berbaur dengan perbedaan yang ada. Perbedaan bukan untuk dipermasalahkan, tetapi untuk mempersatukan.

Berbicara Ahmadiyah, ada hal-hal yang membuat saya tercengang dari pernyataan Sri Sultan. Beliau bercerita saat ada rapat sesama Gubernur se Indonesia, Menteri Agama menyatakan bahwa stabilitas keamanan terwujud karena beberapa propinsi mengeluarkan Peraturan Gubernur terkait keberadaan jemaah Ahmadiyah. Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta membuktikan hal yang  sebaliknya. Stabilitas keamanan tetap dapat terwujud walau tanpa adanya Pergub-pergub tersebut. Artinya, walau tanpa paksaan (bisa dikatakan bahwa Pergub adalah peraturan yang akhirnya dikeluarkan seorang pemimpin agar masyarakatnya mau menurut), sudah ada stabilisasi keamanan di Jateng maupun Yogyakarta. Sultan pernah mempertanyakan kepada Menteri Agama, Ahmadiyah mau diapakan? Menteri Agama menyatakan bahwa Ahmadiyah harus keluar dari Islam (menurut beberapa pendapat, Ahmadiyah harus keluar dari Islam, karena tidak meyakini Muhammad SAW sebagai rasul terakhir). Lalu Sri Sultan bertanya lagi, jika mereka keluar dari Islam apa mereka boleh buka Al-Quran (kitab suci Ahmadiyah adalah Al-Quran)? Menteri Agama bilang, tidak boleh. Sri Sultan bertanya lagi, lalu Ahmadiyah mau jadi apa? Sebuah diskusi yang menarik mengenai Ahmadiyah.

Usul dari Sultan, sebaiknya minta fatwa Mahkamah Agung tentang apa yang harus dilakukan. Konteksnya harus hukum, jangan politik. Karena menurut beliau, secara tersirat ada konteks politik tersembunyi yang terjadi, melebihi keinginan untuk menyelesaikan hal tersebut. Kalau sudah dipolitisir seperti ini pasti akan rumit. Dan menurut saya, memang keinginan untuk menyelesaikan konflik tersebut masih tertutup dengan keinginan untuk menguasai. Ketika atas nama Tuhan digunakan sebagai senjata untuk mempersalahkan sesuatu, maka tidak aka nada habisnya. Cukuplah akidah itu kita sendiri yang meyakini. Jika ekspresi beragama itu sudah membuat tidak nyaman pihak lain, dan ketidaknyamanan itu diekspresikan pula sebagai sebuah bentuk penentangan, maka di saat itulah terjadi perpecahan. Bagi saya, cukuplah saya meyakini bahwa Agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku.  

Di Jogjakarta, sudah ada dua kampus yang mempunyai multicuture centre. Tidak banyak informasi mengenai hal tersebut. Sri Sultan mendukung adanya multicuture centre di kampus-kampus lainnya.
Saya membayangkan, kita bisa belajar banyak hal mengenai keberagaman Indonesia di multicuture centre. Menurut referensi, pada tahun 2004 ada 7.870 pulau yang bernama, sedangkan 9.634 pulau tak bernama. Dan ada 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Sudah sejak puluhan tahun lalu, sejak Indonesia dinyatakan merdeka, seharusnya sudah menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa Indonesia itu lahir dari keberagaman. Lagu dari Sabang sampai Merauke (yang pernah kami nyanyikan bersama ketika SPK CRCS) layaknya menjadi hal yang kita maknai bersama.   

Seseorang haruslah menjaga etnisitasnya. Jika jadi orang batak, tetaplah sebagai orang batak yang baik. Begitupun dengan suku lainnya. Tidak perlu menjadi orang Jawa, walaupun tinggal di Jogja. Banyak orang yang bukan berasal dari suku Jawa tinggal di Jawa, dan tidak perlu berubah etnis. 

Berbicara kultur, saya mencoba merefleksikan dengan materi di SPK CRCS. Ada hal-hal yang perlu dikritisi juga, ketika berbicara mengenai kultur yang juga berhubungan dengan mitos. Belajar dari pengalaman di Jogjakarta, Sri Sultan menceritakan mengenai adanya anak-anak di Kali Code, berumur 8-13 tahun yang terkena infeksi menular seksual. Ternyata, anak-anak tersebut sering diajak berhubungan seksual oleh bakul kain di Beringharjo.  Hal ini, dikarenakan adanya keyakinan dari bakul kain di Beringharjo, bahwa ketika berhubungan seksual dengan anak-anak tersebut, maka akan mendatangkan “penglaris” untuk usahanya. Mungkin, ini adalah salah satu keyakinan yang layak diperdebatkan. Karena sudah merugikan salah satu pihak, yaitu anak-anak. Dalam hal ini, pihak dewasa lah yang harus dibina. Mereka harus paham mengenai dampak resiko yang akan ditanggung oleh anak-anak maupun para bakul. Anak-anak Kali Code ini dititipkan oleh Romo Mangun ke Kanjeng Ratu Hemas, ketika beliau pindah ke Gunung Kidul. Sebelumnya memang Romo Mangun lah yang membina anak-anak tersebut. Sekarang, anak-anak tersebut dibina di sebuah organisasi social. Bagaimanapun masa lalu anak-anak tersebut, mereka layak memperoleh pendidikan dan pengetahuan yang layak.

Di sisi lain, kami belajar mengenai kepemimpinan Sri Sultan. Bagaimana pengkritisan beliau mengenai pengelolaan keragaman, termasuk etnis budaya yang dihubungkan dengan filosofi cultural dan konflik di beberapa wilayah di Indonesia termasuk Papua menjadi hal yang menarik untuk direfleksikan.

Sri Sultan menceritakan mengenai filosofi cultural yang ada di keraton Jogjakarta. Sejak Hamengkubuwono I, tata letak kraton Jogja sarat dengan filosofi. Keraton ke utara sampai dengan tugu adalah simbol keimanan dan ketaqwaan. Bagian selatan, ada tembok Krapyak yang merupakan simbol manusia yang belum lahir, sehingga bangunan-bangunannya hanya dipelitur. Di pintu Mandungan, pintu gerbangnya mulai berwarna tetapi temboknya menyempit sebagai simbol kelahiran. Kewajiban Sultan adalah untuk mengantar rakyatnya sampai ke tugu (utara). Makanya nama-nama jalan dari keraton sampai ke tugu sarat makna. Dari keraton sampai kilometer nol disebut pangurahan yang merupakan simbol pertumbuhan manusia remaja yang masih labil. Ia bisa saja hanya terhenti di pasar Beringharjo yang merupakan simbol kehidupan duniawi, tapi ia bisa juga melangkah ke jalan Margomulya (sekarang Malioboro) yang merupakan simbol adanya keseimbangan lahir batin, integritas budi pekertinya sudah lolos. Tapi tidak sampai di situ saja, masih ada jalan berikutnya yaitu Margoutomo (jalan dari Malioboro menuju Tugu), yang merupakan simbol hakekat kehidupan yang mengagungkan asma Allah, ada keimanan dan ketaqwaan yang kuat.

Berkenaan dengan hal itu, selayaknya pemimpin harus memahami apa yang terjadi di wilayahnya. Karena memang kepala daerah bertugas untuk memanajemen wilayah. Jika nantinya ada tindak pidana, maka itu adalah tugas kepolisian. Belajar dari hal tersebut, pemimpin harus biasa berkomunikasi dengan masyarakatnya. Tidak perlu menggunakan jabatan formal, jika untuk berdiskusi dengan masyarakat. Menurut Sri Sultan, ketika beliau sidak ke sebuah wilayah, beliau akan mengetahui, apakah pemimpin wilayah tersebut dikenal oleh warganya atau tidak. Ketika warga mengenal pemimpinnya, maka disitulah pemimpin benar-benar bekerja untuk rakyat. 

Di dalam sebuah komunitas, pasti akan ada yang namanya minoritas dan mayoritas. Hal itu semua akan menjadi harmonis, ketika mayoritas mampu mengayomi dan melindungi minoritas. Sehingga mayoritas tidak akan berbuat sewenang-wenang dan memaksa, sedangkan minoritas dapat terlindungi sehingga semuanya akan menjadi damai. Lagi-lagi, saya merefleksikan di daerah saya sendiri. Benarkah, yang namanya mayoritas mempunyai keikhlasan untuk melindungi minoritas? Jawabannya perlu kita pikirkan bersama-sama. 

Sri Sultan juga menceritakan perlunya pendidikan seni bagi pegawai negeri sipil (PNS). Inilah yang menarik. Seni bisa membangkitkan kepekaan social seseorang. Sri Sultan pernah meminta bantuan Butet Kartarajasa untuk membimbing PNS nya agar mempunyai kepekaan yang tinggi. Salah satu modal bagi PNS adalah memiliki kepekaan social yang tinggi, dengan itulah dia akan paham apa yang diinginkan masyarakat dan bersedia menjadi pelayan masyarakat. Sebuah logika unik yang dimiliki oleh Sri Sultan.

Dalam hal manajerial, Sri Sultan merupakan salah satu pemimpin yang terbuka dengan masyarakatnya. Ada beberapa pertemuan berupa dialog yang dilaksanakan oleh Sri Sultan bersama warganya, dan ini biasanya dilakukan di alun-alun. Selain itu, Sri Sultan juga mengembangkan sikap terbuka dengan LSM-LSM yang ada di Jogja. Jika sebagian pemerintahan biasanya menganggap LSM sebagai musuh, maka Sri Sultan menganggapnya sebagai mitra. Ini dibuktikan dengan adanya Peraturan Gubernur tentang Pekerja Rumah Tangga di Yogyakarta. 

Keberagaman akan terwujud jika pemimpin tidak lagi memprioritaskan kelompoknya, daripada masyarakatnya. Dalam bahasa Sri Sultan, jika “aku” lebih dominan daripada “kita”, maka Indonesia masih akan terpecah belah seperti ini. Sekarang ini, banyak sekali pemimpin yang mementingkan partai daripada masyarakatnya. Hal ini bisa menjadi refleksi bersama. Seperti apa wajah pemimpin kita di hari ini?

Kanjeng Ratu Hemas, ambil bagian terlebih dahulu ketika ada peserta yang menanyakan mengenai kepemimpinan perempuan.  Kanjeng Ratu menyampaikan bahwa perlu adanya inisiasi untuk membangun kesadaran kritis bagi perempuan. Kanjeng Ratu sendiri telah terlibat di dalam ranah politik, sebagai DPD RI. Dalam agendanya, beliau melakukan negosiasi agar kuota perempuan sebesar 30% selalu terpenuhi. Dalam hal terkecil, perempuan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Teringat salah satu sesi di SPK CRCS UGM. Bahwa dalam memberikan nama bagi anaknya pun, perempuan jarang dilibatkan. Hampir sebagian besar nama anak, ditentukan oleh ayah atau tokoh agama bahkan tokoh masyarakat di daerahnya. Di dalam musyawarah terkecil yaitu musrenbang tingkat desa, perempuan haruslah dilibatkan. 

Bagi Sri Sultan, perempuan haruslah mandiri. Mandiri berarti tidak bergantung pada siapapun dan tetap menjaga tanggung jawab terhadap diri dan keluarga. Perempuan yang punya potensi dan kapasitas pasti akan diber peluang oleh Sri Sultan untuk menjadi kepala daerah. Artinya, Sri Sultan sangat mendukung perempuan yang berkapasitas untuk menjadi pemimpin di jabatan eksekutif di Jogja. 

Begitu banyak pembelajaran yang kami dapatkan dalam 3.5 jam pertemuan kami. Semoga ini bisa menjadi bekal bagi perjuangan kami. 

Terima kasih Sri Sultan dan Kanjeng Ratu. Terima kasih untuk Yogyakarta. Yogyakarta sudah selayaknya menjadi laboratorium miniatur Indonesia. 

Saya belajar bahwa Indonesia itu memang lahir dari begitu banyak keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke, begitu banyak suku, ras, budaya dan banyak hal. Sikap santun dan toleransi juga lahir dari keberagaman di Indonesia. Begitu kayanya Indonesia, hingga anak-anak bangsa nya tidak mengenal lagi keberagaman Indonesia. Banyak perang, konflik atas nama agama, suku dan banyak hal lainnya sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Jika AKU lebih besar daripada KITA, maka hanya egoisme yang akan menjadi landasan berpikir.

Perbedaan itu pasti, tapi masihkah perbedaan itu perlu dipermasalahkan? 

Akan lebih baik jika kita sebagai generasi muda, sama-sama bersatu untuk memperbaiki nasib bangsa Indonesia. Di sinilah kita lahir, di sinilah kita belajar, di sinilah kita berjuang dan Insya Allah di sinilah nafas dihembuskan untuk terakhir kalinya…

Sekali lagi, Bukan Indonesia Jika Tanpa Bhineka Tunggal Ika!


*Penulis adalah salah seorang peserta SPK CRCS UGM, yang juga beraktivitas di Aliansi Remaja Independen, sebuah organisasi remaja yang fokus di bidang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, Pendidikan dan Ketenagakerjaan. Email yang bisa dihubungi adiningtyas.prima@gmail.com.

Kamis, 21 Februari 2013

Ourvoice.or.id -Cerita ini berawal dari kunjungan yang dilakukan oleh peserta Sekolah Pluralisme Kewargaan (SPK) yang diadakan oleh Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadja Mada Yogyakarta. Salah satu kegiatan dalam SPK ini adalah kunjungan ke lembaga-lembaga, termasuk Pondok Pesantren Waria Senin Kamis yang diselenggarakan apda tanggal 14 Pebruari 2013.

Sesampainya di Pondok Pesantren Waria “Senin-Kamis”, kami diterima oleh Ibu Mariani, sebagai pendiri, kemudian ada Inez dan Ruly. Ibu Mariani mengatakan bahwa ponpes ini didirikan untuk mengingatkan teman-teman waria agar tetap melaksanakan ibadah kepada Tuhan YME. Karena manusia diciptakan untuk beribadah, apapun kondisi manusia tersebut. Tidak terkecuali dengan waria. Walaupun Waria sering mendapat stigma buruk, karena tidak berada di posisi laki-laki ataupun perempuan, tetaplah waria itu sebagai manusia. Setiap manusia mempunyai hak untuk berKetuhanan dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Sehingga ini menjadi penyemangat bagi Ibu Mariani untuk terus mengingatkan teman-teman sesama waria agar kembali ke Tuhannya.

Pada awalnya, banyak sekali tantangan yang dihadapi Ibu Mariani ketika mengajak para waria. Ada yang merasa dirinya belum siap, ada yang acuh dan sebagainya. tapi hal kini tidak menyurutkan langkah Ibu Mariani untuk selalu mengingatkan teman-teman waria ke dalam hal kebaikan. Ibu Mariani, merupakan seorang waria yang dulunya hidup di jalanan. Sejak kecil, diusir dari keluarganya, kemudian diadopsi oleh seorang Pastor, sehingga dia beragama Khatolik. Ketika beranjak dewasa, Ibu Mariani memutuskan untuk beragama Islam.

Perjalanan spiritual yang hebat sekali, saya pikir. Dia sempat “mangkal” di sebuah tempat, tetapi karena beliau memang punya motivasi belajar dan ingin berubah, akhirnya beliau merasa menemukan “jalan”.  Ibu Mariani belajar merias dan membuka usaha salon, sehingga bisa mencukupi kehidupannya sendiri.  Dan pada tahun 2008, Ibu Mariani mendirikan Pondok Pesantren Waria dan mengadopsi anak.

Jangan membayangkan Pondok Pesantren Waria ini seperti pondok besar lainnya yang bisa menampung ratusan umat. Pondok Pesantren Waria ini berdiri di atas rumah kontrakan, di sebuah gang kecil di Jogjakarta. Pondok ini lebih tepat disebut tempat berkumpul dan mengaji dari para waria di Jogjakarta. Ponpes ini melakukan pengajian rutin setiap hari senin dan kamis. Jadwal mengaji dilakukan dari pukul 17.00 hingga esok harinya pukul 05.00. agenda pengajian itu adalah sholawat nariyah, sholat Maghrib, baca Al Fatihah 100x, sholat Isya, materi bacaan doa sehari-hari, solat Hajat, Tahajud dan solat Subuh. Setelah itu teman-teman waria bisa pulang dan beraktivitas kembali.

Dalam hal ibadah, teman-teman waria memang lebih memilih di urusan keyakinan hati. Jika memang keyakinan yang diambil adalah sebagai perempuan, maka mereka beribadah menggunakan mukena, begitupun sebaliknya. Yang terpenting, mereka bisa beribadah sesuai keyakinannya.
Selain Ibu Mariani, ada Ibu Rully, seorang Waria asal Makasar, yang sekarang tinggal di Jogjakarta. Ibu Rully ini sempat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di tahun 1979, dan ditempatkan menjadi guru Sekolah Dasar (SD) di Nusa Tenggara Timur (NTT).  Saat mengajar itu, Ibu Rully sudah coming out (terbuka) sebagai waria. Dia tidak menggunakan pakaian PNS, tetapi menggunakan kebaya ketika dia mengajar.

Awalnya, banyak sekali cemoohan bahkan ratusan teguran yang dia dapatkan. Tetapi, karena Ibu Rully acuh saja, maka lama-lama atasan Ibu Rully akhirnya membiarkan. Karena panggilan hati untuk berjuang demi teman-teman waria, Ibu Rully meninggalkan pekerjaannya sebagai PNS, dan memilih menjadi aktivis pejuang Waria. Ketika Ibu Rully mengajukan pengunduran diri, Kepala Dinas Pendidikan setempat sempat menolak surat pengunduran dirinya. Tetapi karena keinginannya yang kuat, akhirnya Ibu Rully melepaskan juga pekerjaannya sebagai PNS.

Berbeda dengan Waria lainnya, Ibu Rully mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi. Dia lulus sebagai sarjana. Ini juga terlihat dari cara penyampaian yang sistematis, tegas, lugas dan elegan. Banyak teman-teman SPK yang terpesona dan mendorong Ibu Rully untuk menjadi caleg tahun 2014. Dibutuhkan orang cerdas seperti Ibu Rully dalam parlemen. Jumlah waria di Indonesia diperkirakan sebanyak 5 juta orang. Dan ini sudah cukup menjadi dasar agar teman-teman Waria juga punya hak dalam parlemen.

Sayangnya, di Indonesia gender sebagai waria belum diakui, sehingga belum bisa dicatat secara resmi di system administrative Negara. Namun menurut diskusi teman-teman peserta SPK CRCS, mungkin perlu adanya negosiasi internal secara administrative, agar teman-teman Waria lebih diakui. Bisa saja melebur dalam jenis kelamin laki-laki dan perempuan. walaupun memang butuh proses.

Ibu Rully sempat memberikan pandangannya terhadap FPI. Dia tidak pernah menganggap bahwa FPI itu sebagai musuh. (walaupun kita tahu bahwa banyak sekali kasus di media, dimana FPI sering melakukan penyerangan terhadap beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh waria di beberapa kota). Dia beranggapan bahwa FPI itu sama seperti kita, sesama orang Islam. Sama-sama beribadah solat lima waktu, dan sebagainya. Pernyataannya yang tidak tendensius itulah yang membuat saya memberikan pandangan bahwa Ibu Rully ini telah mencapai “kematangan religius”. Bahkan dia tidak pernah membenci kepada orang-orang yang melakukan kekerasan kepada komunitasnya.

Di Ponpes Waria, saya menemukan beberapa foto yaitu Ibu Siti Nuriyah Wahid (istri Gus Dur) dan ada juga ijazah dari salah satu lembaga Ke-Islaman. Beberapa tamu dari luar negeri juga pernah mengunjungi Ponpes Waria. Ibu Mariani pun juga pernah mengunjungi beberapa Negara lain.

Rully (Tengah) bersama peserta SPK-CRCS UGM (Foto: Hartoyo/Ourvoice)

Ponpes Waria ini pun berdiri atas inisiatif dari pak (alm) K.H. Amroni, ustad yang aktif dan rutin mengajar pengajian. Awalnya, banyak sekali praduga negative terhadap pak (alm) K.H. Amroni. Banyak yang menganggap bahwa beliau berpacaran dengan waria, doyan laki-laki, dan sebagainya. Tetapi beliau tetap bersikukuh untuk mendampingi pengajian Waria, apapun tantangannya. Tidak hanya mendampingi Waria, beliau juga mempunyai kelompok pengajian dengan anggota tukang becak. Di beberapa kota lain, Ibu Mariani juga menginisiasi adanya pengajian serupa yang dilaksanakan secara cultural. Ada beberapa kota yang juga melaksanakan pengajian.

Baik Ibu Mariani maupun Ibu Rully, mempunyai fokus gerakan yang berbeda bagi komunitas Waria.  Jika Ibu Mariani lebih fokus di urusan keagamaan, Ibu Rully lebih fokus di pendampingan dan perjuangan HAM teman-teman waria. Apapun pilihan gerakan mereka, layaknya ini menjadi inspirasi bersama bagi kita untuk bisa berbuat sama bahkan lebih.

Pertama-tama yang harus kita pikirkan adalah bagaimana penerimaan diri kita terhadap teman-teman waria. Terima mereka sebagai bagian dari realitas social di masyarakat. Kedua, jangan membenci waria karena posisi ke-waria-an yang mereka sandang. Hargai waria karena mereka juga bagian dari masyarakat, dan punya hak sebagai warga Negara Indonesia. Ketiga, berikan affirmative action bagi mereka. Misalnya dengan memberikan pekerjaan ataupun aktivitas di program yang kita punya. Dan tentunya banyak hal lain yang bisa kita lakukan bagi mereka.

Waria adalah bagian dari masyarakat dan layaknya memperoleh hak-hak sebagai Warga Negara Indonesia. Yang jelas, apapun jenis kelamin seseorang, orientasi seksual, maupun hal lainnya yang mendasar dari diri orang tersebut, tetaplah manusia itu sebagai makhluk yang butuh kenyamanan dalam berkomunikasi dengan Tuhan penciptanya. Dan inilah yang disebut ibadah hakiki dari seorang manusia kepada Tuhannya. Tidak secara ritual saja, tetapi juga berbicara kemanusiaan.

Mengutip dari Gus Dur, Agama tanpa Kemanusiaan itu Omong Kosong. Begitupun juga dengan Islam (entah apapun agamanya). Mengaku Islam tetapi tidak menjaga harmonisasi antara Hablum Minallah, Hablum Minannaas dan Hablum Minal alam, maka dia belumlah Islam secara kaffah. Banyak hal yang bisa dipelajari dari Ponpes Waria ini. Akan lebih afdhol, jika sekali-kali kita mengikuti pengajian yang diselenggarakan.

*Penulis adalah salah seorang peserta SPK CRCS UGM, yang juga beraktivitas di Aliansi Remaja Independen, sebuah organisasi remaja yang fokus di bidang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi, Pendidikan dan Ketenagakerjaan. Email yang bisa dihubungi adiningtyas.prima@gmail.com.

Rabu, 20 Februari 2013